Selamat Datang di Blog Resmi Vihara Dhamma Metta Tangerang

Senin, 18 Januari 2016

Cetiya dan Vihara dalam Agama Buddha

Vihara adalah tempat ibadah atau peribadatan Agama Buddha. Seperti masjid, gereja, pura, dan litang, vihara sebagai tempat melakukan berbagai kegiatan upacara Agama Buddha. Vihara adalah pondok, tempat tinggal, tempat penginapan bhikkhu/ bhikkhuni, tempat mengadakan pertemuan, belajar dan mendiskusikan dhamma (Upasak, 1975: 205). Vihara merupakan milik umum (umat Buddha) tidak dijadikan miliki perseorangan, biasanya dibentuk suatu yayasan untuk mengatur kepentingan tersebut (Giriputra, 1994: 2).
Cetiya Adalah
Arti Cetiya dalam Agama Buddha

Vihara Adalah
Arti Vihara dalam Agama Buddha
Cetiya merupakan tempat puja bakti Agama Buddha yang lebih kecil dan memiliki sarana yang lebih sederhana jika dibandingkan dengan vihara. Cetiya biasanya memiliki altar dengan patung Buddha. Di dalam cetiya terdapat ruang untuk puja bakti (dammasala), altar, dan pada umumnya tidak terdapat tempat tinggal bhikkhu (kuti) maupun perpustakaan. Dalam sejarah Agama Buddha, arti cetiya adalah setiap tempat suci, altar atau objek pemujaan.

Cetiya berasal dari chaitya yang terbuat dari batu karang sebagai monumen dan altar. Chaitya berasal dari kata chit yang berarti meditasi, kemudian digunakan sebagai tempat praktik dan objek meditasi sebelum relik diletakan di depan altar (Wauchop, 1933: 5-7). Dalam kitab Kalinga Bodhi Jataka No.479 ada beberapa cetiya yang menjadi objek penghormatan yaitu: sarīrika cetiya (tempat menyimpan relik Buddha); uddesika cetiya (simbol‐simbol agama seperti rupang patung dan gambar Buddha); dan pāribhogika cetiya (benda-benda yang pernah digunakan oleh Buddha). Sudah menjadi hal yang biasa bagi umat Agama Buddha memberikan penghormatan kepada cetiya, sehingga pada masa sekarang lebih dimengerti sebagai tempat melakukan penghormatan dan puja bakti.

Puja Bakti dalam Agama Buddha

Puja bakti terdiri dari kata ‘puja’ yang bermakna menghormat dan ‘bakti’ yang lebih diartikan sebagai melaksanakan Ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Dalam melakukan puja bakti, umat Buddha melaksanakan tradisi yang telah berlangsung sejak jaman Sang Buddha masih hidup yaitu umat datang, masuk ke ruang penghormatan dengan tenang, melakukan namakara atau bersujud yang bertujuan untuk menghormat kepada lambang Sang Buddha, jadi bukan menyembah patung atau berhala.

Vihara Dhamma Metta
Patung Buddha
Kebiasaan bersujud dilakukan karena Sang Buddha berasal dari India. Sudah menjadi tradisi di berbagai negara timur termasuk India, ketika seseorang bertemu dengan mereka yang dihormati, maka akan melakukan sujud yaitu menempelkan dahi ke lantai sebagai tanda menghormati mereka yang layak dihormati dan menunjukkan upaya untuk mengurangi keakuan sendiri. Karena bersujud di depan altar ataupun arca Sang Buddha hanyalah bagian dari tradisi, maka para umat dan simpatisan dapat saja tidak melakukan bersujud di depan altar apabila batinnya tidak berkenan untuk melakukan tindakan demikian. Sebentuk arca tidak akan menuntut dan memaksa seseorang yang berada di depannya untuk bersujud. Namun, dengan mampu bersujud, maka seseorang akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk berbuat baik dengan badannya yaitu dengan belajar bersikap rendah hati.

Setelah memasuki ruangan dan bersujud, umat Buddha dapat duduk bersila di tempat yang telah disediakan. Umat kemudian secara sendiri atau bersama-sama dengan umat yang ada dalam ruangan membaca paritta yaitu mengulang kotbah Sang Buddha. Diharapkan dengan pengulangan kotbah Sang Buddha, umat mempunyai kesempatan untuk merenungkan isi uraian Dhamma Sang Buddha serta berusaha melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Semakin lama seseorang mengenal Dhamma, semakin banyak melakukan puja bakti, semakin banyak kotbah Sang Buddha yang diulang, maka sudah seharusnya semakin baik pula dalam tindakan, ucapan maupun pikiran.

Contoh yang paling mudah ditemukan adalah kebiasaan umat membaca Karaniyametta Sutta di vihara. Sutta atau kotbah Sang Buddha ini berisikan cara memancarkan pikiran penuh cinta kasih kepada semua makhluk di setiap waktu, ketika seseorang sedang berdiri, berjalan, berbaring, berdiam selagi ia tidak tidur. Diharapkan, dengan sering membaca sutta tersebut seseorang akan selalu berusaha memancarkan pikiran cinta kasih kepada lingkungannya. Ia hendaknya menjadi orang yang lebih sabar dari sebelumnya. Disebutkan pula dalam salah satu bait sutta tersebut bahwa jangan karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka. Pengertian baris cinta kasih ini sungguh sangat mendalam dan layak dilaksanakan. Dengan mampu melaksanakan satu baris ini saja dalam kehidupan, maka batin seseorang akan menjadi lebih tenang dan bahagia walaupun berhadapan dengan kondisi yang tidak sesuai dengan keinginannya. Ia akan menjadi orang yang mampu mengendalikan dirinya. Dengan demikian, setiap kali ia hadir dan berkumpul maka ia akan selalu membawa kebahagiaan untuk lingkungannya.

Itulah makna sesungguhnya dari pengertian ‘puja bakti’ yaitu menghormat dan melaksanakan Ajaran Sang Buddha. Sekali lagi, umat Buddha tidak berdoa, juga tidak sembahyang. Namun, sebagai manusia biasa, adalah wajar apabila umat Buddha mempunyai keinginan atau permintaan, misalnya ingin banyak rejeki, ingin kaya, dan masih banyak lagi keinginan lainnya.

Sumber: http://www.samaggi-phala.or.id // oleh: Bhikkhu Uttamo

Vihara Dhamma Metta Tangerang,